- Oleh Alif Alqausar
KABARDAILY.COM | OPINI –
“Uang bukan segalanya.”
Pepatah tersebut merefleksikan temuan dari penelitian Universitas Harvard dalam Nature Mental Health (2025) yang menempatkam Indonesia sebagai negara teratas sebagai negara dengan tingkat berkembang atau “flourishing” tertinggi di dunia.
Hasil penelitian tersebut menarik, kendati bukan negara terkaya justru unggul dalam aspek hubungan sosial, sementara negara maju seperti Jepang dan Inggris berada dibawah dalam hal ini.
Penelitian ini melibatkan lebih dari 203.000 responden dari 22 negara. Penelitian ini mengukur tujuh variabel kunci: kesehatan, kebahagiaan, makna hidup, karakter, hubungan sosial, keamanan finansial, dan spiritualitas.
Kesejahteraan pada penelitian ini mengacu pada konsep yang melihat kepuasan hidup manusia sebagai suatu kesatuan dari berbagai aspek, tidak hanya fisik dan material, tetapi juga mental, emosional, sosial, dan spiritual
Studi Harvard mencerminkan bahwa uang bukanlah jaminan untuk mendapatkaan kebahagiaan. Buktinya, meskipun bukanlah negara terkaya, Indonesia menempati peringkat tinggi dengan karakter pro-sosial, yang mendorong hubungan sosial dan komunitas dengan skor perkembangan sebesar 8,3. Di sisi lain, Jepang yang notabene lebih kaya justru lemah dalam indikator makna hidup dan hubungan sosial dengan skor 5,89.
Jiwa kolektivis masyarakat Indonesia juga tergambar dalam laporan World Giving Index dari Charities Aid Foundation (2024) yang menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia selama tujuh tahun berturut-turut. Sekitar 90% orang Indonesia menyumbangkan uang untuk amal dan 65 persen menyumbangkan waktu mereka.
Menurut analisis Geertz (1961) kehidupan sosial masyarakat Indonesia tercermin dalam budaya gotong royong dan nilai kebersamaan yang sudah lama tertanam dalam masyarakat. Selain itu, Menurut Seligman (2011) agama dan spiritualitas yang sangat penting bagi banyak orang di Indonesia juga membantu memberi makna dalam hidup.
Dalam hal spiritualitas, provinsi paling barat Indonesia, Aceh sebagai satu-satunya daerah yang diberikan mandat memberlakuan syariat Islam sebagai hukum daerah, memperlihatkan bahwa ajaran Islam tentang zakat, infak, dan wakaf bukan hanyak konsep, tapi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan budaya masyarakat. Data menunjukkan bahwa masyarakat Aceh aktif memberikan sumbangan melalui berbagai lembaga.
Kedermawanan masyarakat Aceh menarik disoroti mengingat status nya sebagai provinsi termiskin di Sumatera menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Maret 2024, persentase penduduk miskin di Aceh mencapai 14,23%, sementara di Sumatera rata-rata sekitar 9,27%. Angka ini juga lebih tinggi dari rata-rata nasional yang sebesar 9,36%.
Sebagai contoh, Baitul Mal Aceh (BMA) menyalurkan dana sebesar Rp 24,87 miliar untuk berbagai program, termasuk pemberdayaan ekonomi dan kemaslahatan umat. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan syariat Islam di Aceh tidak hanya berfokus pada aspek ibadah, tetapi juga mencakup pembangunan ekonomi yang lebih berkeadilan. Dana yang dikelola digunakan untuk membantu kelompok yang membutuhkan, memberikan modal usaha, serta mendukung program-program sosial yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Selain itu, kepedulian masyarakat Aceh terhadap umat Islam di luar daerahnya juga menjadi bukti nyata dari implementasi nilai-nilai ukhuwah Islamiyah yang diajarkan dalam syariat. Bantuan yang diberikan kepada rakyat Palestina, baik melalui MPU Aceh sebesar Rp 500 juta maupun secara langsung dari masyarakat sebesar Rp 1 miliar, mencerminkan bagaimana masyarakat Aceh merespons penderitaan sesama Muslim dengan tindakan nyata. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya saling membantu dan bersolidaritas dalam menghadapi kesulitan.
Diatas segalanya, pencapaian Indonesia menduduki posisi teratas sebagai negara dengan tingkat flourishing tertinggi di dunia dari Universitas Harvard menyadarkan bahwa kesejahteraan sejati lahir dari hubungan bermakna, bukan sekadar akumulasi materi. Studi ini merefleksikan bahwa pembangunan ekonomi tanpa investasi dalam hubungan manusia justru berisiko menciptakan masyarakat yang kaya materi tetapi miskin secara psikologis. Studi ini menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari hubungan yang bermakna, bukan hanya dari harta atau kekayaan.
Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.