Irigasi Mon Seuke Pulot dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan
Opini,kabardaily.com –
Sejarah dan Latar Belakang Irigasi Mon Seuke Pulot
Berbicara mengenai pembangunan tentu tidak terlepas dari pembangunan infrastruktur yang saat ini menjadi agenda utama pembangunan di Indonesia. Salah satu sektor yang menjadi fokus pembangunan yaitu sektor pertanian. Pertanian masyarakat Peusangan Siblah Krueng, Kecamatan Kuta Blang dan sebagian Kecamatan Gandapura Kabupaten Bireuen pada umumnya adalah pertanian yang memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun perekonomian karena berfungsi sebagai penyedia bahan pangan untuk ketahanan pangan masyarakat, sebagai instrumen pengentasan kemiskinan, penyedia lapangan kerja, serta sumber pendapatan masyarakat.
Namun seiring berjalan waktu pembangunan Irigasi Mon Seuke Pulot masih jauh dari kata selesai, harapan terus di janjikan oleh para pemangku kepentingan baik di level Kabupaten maupun Provinsi, tetapi realisasi di lapangan belum sesuai seperti yang diharapkan.
Irigasi Mon Seuke Pulot memiliki sejarahnya yang sangat panjang yaitu pogram pembangunannya sudah digagas sejak awal tahun 1980-an. Sudah puluhan kali tim dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan survey, bahkan ada oknum pejabat publik yang memanfaatkan issu-issu politis untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu apalagi menjelang Pemilu.
Pada tahun 2019, pembangunan Irigasi Mon Seuke Pulot mendapat titik terang dengan dilakukannya pembebasan lahan mencapai 4 Km mulai dari Desa Pante Karya sampai Desa Lueng Daneun Kecamatan Peusangan Siblah Krueng dan dilanjutkan pada tahun 2020 pemerintah mengucurkan dana 47 Milyar bersumber dari APBA untuk pembangunan Bendungan dan Jaringan Utama Irigasi. Sangat disayangkan kini pembangunan tersebut tidak dilanjutkan dan terbengkalai hampir 3 (tiga) tahun.
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan pada konferensi pertama PBB di Stockholm pada tahun 1972 dengan agenda utama membahas mengenai interaksi manusia terhadap lingkungan.
Dari hasil konferensi dimaksud ditandatangani Deklarasi Stockholm yang memuat 26 prinsip mengenai lingkungan dan pembangunan yang berfokus pada upaya dalam menjaga ekosistem lingkungan yang berkelanjutan. Kemudian pada tahun 1983, World Commission on Environment and Development (WCED) menerbitkan Laporan Brundtland yang mengangkat masalah lingkungan global yang kritis terutama disebabkan oleh kemiskinan yang sangat besar, pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan.
Selain itu, laporan membahas mengenai strategi yang menyatukan pembangunan dan lingkungan yang digambarkan dengan istilah pembangunan berkelanjutan. Dalam laporannya disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Pembahasan mengenai pembangunan berkelanjutan terus berlanjut. Pada KTT Bumi Rio 1992 menghasilkan dokumen berupa Agenda 21 yang merupakan kunci penting pembangunan berkelanjutan.
Pada tahun 2015, PBB juga mengesahkan Sustainable Development Goals (SDGs) yang terdiri dari 17 Tujuan dan 169 target sebagai tindak lanjut dalam upaya dan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015. Adapun 17 tujuan SDGs adalah sebagai berikut : Tanpa kemiskinan, Tanpa kelaparan, Kehidupan sehat dan Sejahtera, Pendidikan Berkualitas, Kesetaraan Gender, Air Bersih dan Sanitasi Layak, Energi Bersih dan Terjangkau, Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, Industri, Inovasi dan Infrastruktur, Berkurangnya Kesenjangan, Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan, Konsumsi dan Produksi yang bertanggung jawab, Penanganan Perubahan Iklim, Ekosistem Lautan, Ekosistem Daratan, Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh, Kemitraan untuk mencapai tujuan.
Irigasi Seuke Pulot dalam konsep pembangunan berkelanjutan
Sustainable Development Goals (SDGs) dimana 17 tujuan pembangunan berkelanjutan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam tujuh agenda pembangunan Indonesia. Hal tersebut menjadi bukti nyata komitmen pemerintah Indonesia dalam mendukung pelaksanaan SDGs yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat.
Pemerintah selalu berupaya untuk terus melakukan pembangunan infrastruktur yang dengan berfokus pada pembangunan yang berkualitas, efektif dan efisiensi serta berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, sering kali ditemukan kendala dalam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan khususnya pembangunan infrastruktur sektor pertanian. Berikut kendala yang kerap ditemukan yaitu dari keterbatasan anggaran, komitmen stakeholders sampai isu lahan yang kurang tercukupi.
Dalam konteks pembangunan Irigasi Mon Seuke Pulot tentu penerapan Sustainable Development Goals (SDGs) masih dapat dikatakan belum memenuhi standar dan ketentuan ke 17 tujuan SDGs. Halini mengingat dalam proses pembangunan sangat banyak aspek – aspek lingkungan yang terabaikan puluhan hektar hutan hilang tanpa ada konsep perencanaan yang matang, banyak sungai-sungai kecil yang dipindahkan alirannya sehingga masyarakat tidak bisa bercocok tanam karena kekurangan air, hasilnya irigasi yang dicita-citakan tak kunjung selesai sampai hari ini, selain keterbatasan anggaran, komitmen stakeholders juga sangat terpengaruh karena masih kurangnya sumber daya manusia (tokoh) dari Peusangan Siblah Krueng level provinsi yang dapat mempengaruhi kebijakan Pemerintah.
Pada tahun 2020 pemerintah mengalokasikan 47 Milyar yang bersumber dari APBA untuk Pembangunan Bendungan dan Jaringan Utama Irigasi, yang menjadi permasalahan saat ini adalah adalah pembangunannya yang tidak berkesinambungan atau terputus-putus karena sebagian bendungannya dibangun di wilayah Desa Pante Karya, dan wilayah tengah di Desa Alue Ietm serta terakhir di wilayah bawah di Desa Alue Kupula dan Desa Dayah Baroe yang kesemuanya tidak tersambung, alih-alih bisa dimanfaatkan sekarang yang ada hanya menjadi ladang subur tumbuhnya rumput liar.
Selain itu pembangunan Irigasi Mon Seuke Pulot telah berdampak negatif terhadap masyarakat, dimana pada Sabtu 18 Maret 2023 malam terjadi banjir luapan yang berdampak kepada 19 Kepala Keluarga (KK) di Desa Pante Karya, luapan tersebut terjadi karena pintu air irigasi Mon Seuke Pulot telah ditutup sejak beberapa tahun lalu, sehingga terjadi pengendapan sendimentasi. Akibat dari timbunan sedimentasi yang terjadi menyebabkan bendungan yang ada menjadi dangkal dan saat hujan turun dengan debit air tinggi terjadi luapan banjir ke beberapa pemukiman warga sehingga kini masyakat merasa khawatir bila turun hujan dengan intensitas tinggi dikarenakan mereka harus bersiap-siap untuk mengunggsi ketempat yang lebih aman.
Pemerintah harus bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga adalah tanggung jawab Pemerintah sebagaimana agama juga mengajarkan untuk kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Walaupun ada berita yang negatif terhadap pelaksanaan irigasi ini sebagai masyarakat sekali lagi kami hanya bisa berharap kepedulian pemerintah kepada petani yang selama ini bergantung pada sistem sawah tadah hujan. Sebagaimana ungkapan hati masyarakat dalam tulisan ini yang diwakili oleh Tokoh Masyarakat yang juga petani milenial Munawir, ST : “Anda lihat sendiri betapa merananya petani di Awe Geutah, Kubu, Teupin Raya, Lueng Daneun dan belasan desa lainnya di Peusangan Siblah Krueng kering total, tanaman padi sudah memerah, sebagian dipotong untuk pakan ternak,sepertinya kami masyarakat harus bersabar, yang penting tiap tahun ada dianggarkan dalam anggaran negara.
Entah kapan akan siap, kami akan terus berdoa kepada Allah SWT dan berikhtiar mencari solusi agar Program Bendungan Irigasi Mon Seuke Pulot dapat dilanjutkan yang memiliki nilai pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang.
Penulis : Taufiqurrahman, ST
Kepala Desa Lueng Daneun /
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Almuslim Prodi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Tropis