Polemik Sistem Pemilu Proporsional Tertutup; Mimpi Buruk Bangsa di Siang Bolong?
kabardaily.com – Penyelenggara pemilihan umum (pemilu) tahun 2024 hanya tinggal hitungan bulan saja. Namun polemik dengan sistem proporsional tertutup atau terbuka kian panas.
Ada yang pro dan kontra. Pihak yang pro menginginkan Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
Sementara pihak yang kontra menginginkan sebaliknya. Mereka menginginkan sistem proporsional tertutup.
Meski sebenarnya proses uji materi terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang saat ini masih sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan belum memiliki keputusan yang mengikat.
Fajar Andi Saputra SH, S.Ag wakil Ketua AMK Aceh melalui siaran persnya mengatakan.
Ada beberapa hal penting yang harus diketahui bersama sebelum kita memutuskan menjadi pihak yang pro atau pun kontra dalam persoalan polimiki yang sedang hangat dibincangkan ini.
Pertama mengenai kelemahan sistem proporsional tertutup jika nanti akan digunakan dalam sistem pemilu di Indonesia.
Sistem proporsional tertutup akan menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan siapa calon wakilnya yang nantinya akan duduk di lembaga legislatif.
Berbeda halnya dengan sistem proporsional terbuka dimana masyarakatlah yang menentukan. karena pemenang pemilu legislatif tidak berdasarkan nomor urut melainkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh oleh kandidat.
Kedua, meskipun dikatakan bahwa prosional terbuka identik dengan tren politik uang yang dilakukan oleh banyak calon legislatif pada saat pemilu untuk menarik simpati masyarakat.
Namun sebaliknya perlu juga kita garis bawahi bahwa proporsional tertutup juga sama sekali tidak akan menghapus tren politik uang tersebut.
Karena sejatinya yang hanya terjadi jika sistem proporsional tertutup dilakukan tren politik uang ini hanya akan berubah haluan yang dulu dari calon legislatif ke masyarakat menjadi calon legislatif ke partai politik.
Hal tersebut akan sangat mungkin terjadi karena kandidat terpilih akan sangat bergantung pada nomor urut calon anggota legislatif yang ditentukan sepenuhnya oleh partai politik.
Menurut Fajar, sebenernya jika ingin menghilangkan praktik politik uang seharusnya yang digantikan itu bukan sistem pemilu melainkan calon legislatif yang harus diganti jika terbukti melakukan praktik politik uang di tengah masyarakat yang sebenarnya dapat mencoreng nama baik partai.
Pada sistem proporsional terbuka, sebenarnya partai politik tetap memiliki hak dan kewenangan melakukan PAW (pergantian antar waktu) terhadap kadernya melakukan pelanggaran.
Namun untuk melakukan tindakan seperti itu perlu bagi partai membuat sebuah regulasi kepada kadernya yang bertarung pada pemilu untuk menghindar dari praktik politik uang. Karena hal tersebut adalah ada sebuah pelanggaran yang bisa menyebabkan tercorengnya nama baik partai tersebut.
Selain itu sebagai seorang generasi milineal Fajar Andi Saputra juga mengatakan bahwa proporsional tertutup juga akan bisa membuka ruang terjadinya nepotisme di internal partai yang akan berakibat pada krisis kepemimpinan yang disebab turunnya minat masyarakat bergabung dalam partai politik.
Perlu kita ingat bersama bahwa saat ini kita hidup di era digital dimana setiap orang pasti menginginkan setiap informasi di selenggarakan dengan cara terbuka.
Namun jika nepotisme itu terjadi bisa akan dibayangkan kalau akan banyak sekali informasi dan kebijakan-kebijakan yang akan di ambil di ruang-ruang tertup.
Tentu hal ini jika kita sandingkan dengan karaktek milineal saat ini tentu akan melahirkan masalah yang baru bagi partai politik yaitu hilangnya kepercayaan dari masyarakat khususnya kaum milineal yang berakibat turunnya minat bergabung dalam partai politik dan turun partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu itu tersendiri yang akan mencoreng namanya baik demokrasi Indonesia di mata dunia.
Terakhir menurut Fajar Andi Saputra, sistem proporsional tertutup berpotensi menghilangkan relasi dan tanggung jawab anggota legislatif kepada rakyat dan hal inilah yang nantinya akan menyebabkan masyarakat memilih Golput saat pesta demokrasi itu diselenggarakan.
Hal tersebut terjadi dikarenakan keterpilihan calon berada di bawah kekuasaan partai dan oleh karenanya anggota legislatif terpilih hanya akan bertanggung jawab kepada partai politik yang mana penuntutan nomor urut tersebut juga akan dilakukan secara tertup oleh partai politik pada saat perekrutan calon legislatif.
Sungguh ini akan menjadi mimpi buruk di siang bolong yang akan dirasakan oleh masyarakat Masyarakat Indonesia.
Dimana sebenarnya dalam sejarah Bangsa Indonesia perlu kita ingat bersama salah satu faktor robohnya order baru karena masyarakat menolak terhadap sistem pemilu tidak langsung yang telah di selenggarakan pulahan tahun di Indonesia paska kemerdekaan.
Sehingga setelah reformasi terjadi maka sistem proporsional terbuka sejatinya telah menjadi pilihan yang tepat dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia meski saat ini masih ada kekurangan-kekurangan yang masih perlu di perbaiki bersama-sama baik partai politik maupun masyarakat itu sendiri.
Penulis : Fajar Andi Saputra SH, S.Ag wakil Ketua AMK Aceh