Revolusi Pendidikan Hukum dari Buku ke Realitas: Sebuah Rasa Sebagai Pendidik

KABARDAILY.COM – Dalam ranah pendidikan tinggi hukum di Indonesia, skripsi konvensional dengan pendekatan normatif telah lama menjadi ritual inisiasi bagi calon sarjana hukum.

Namun, alih-alih menjadi wadah inovasi, ia lebih mirip jalan pintas yang aman, sebuah respons pragmatis terhadap tantangan yang ada. Fenomena ini, yang sering kita jumpai di berbagai fakultas hukum, bukanlah sekadar pilihan metodologi. Ini adalah refleksi dari sebuah sistem yang masih terperangkap dalam paradigma ”law in books”—hukum sebagai teks, norma, dan doktrin—sementara realitas di lapangan menuntut pemahaman ”law in action”.

Ini seharusnya tidak menjadi problem, justeru kekosongan ini harus dijadikan trigger untuk melatih mahasiswa sebagaimana yang dibutuhkan oleh kebanyakan industri sekarang.
Walaupun sudah berlakunya surat keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIRJEN DIKTI) Nomor 17/D/0/93 tertanggal 24 Februari 1993 tentang kurikulum Nasional untuk pendidikan program sarjana di bidang ilmu hukum, tugas penulisian hukum tersebut dapat berbentuk sripsi, atau Legal Memorandum (LM) atau Studi Kasus Hukum. Namun, sekali lagi sampai saat ini mahasiswa di banyak perguruan tinggi masih tidak mau menggunakan alternatif-alternatif tersebut (M Syamsuddin dan Salman Luthan, 2018).

Tradisi ini diyakini berakar kuat dari warisan sistem hukum Kontinental, di mana hukum tertulis dan analisis doktrinal menjadi acuan utama dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam tradisi ini, skripsi normatif menjadi alat paling efisien untuk meneliti kekosongan hukum, norma yang tidak jelas, atau pertentangan antarnorma yang berlaku. Prosesnya lebih terstruktur, datanya statis, dan sumbernya mudah diakses (cukup dari perpustakaan dan repositori digital). Tidak heran, banyak mahasiswa memilih jalur ini sebagai rute tercepat menuju kelulusan.
Namun, pilihan ini datang dengan konsekuensi.

Mahasiswa yang berfokus pada pendekatan normatif memang akan mahir dalam analisis logis dan interpretasi teks hukum. Mereka akan menjadi hakim, jaksa, atau staf legal yang cakap dalam membaca pasal demi pasal.

Namun, dunia kerja modern menuntut lebih. Profesi hukum saat ini, terutama bagi advokat, membutuhkan pemahaman kontekstual dan kemampuan untuk menganalisis bagaimana hukum bekerja dalam masyarakat.8 Di sinilah metode studi kasus, yang berfokus pada penyelidikan empiris terhadap fenomena kontemporer, menjadi sangat relevan.

Studi kasus melatih mahasiswa untuk terjun ke lapangan, melakukan wawancara (interview), dan collecting data primer yang ‘tebal’ untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” sebuah peristiwa hukum terjadi. Keterampilan ini, seperti analisis bukti dan penelusuran fakta di lapangan, sangat penting bagi seorang pengacara yang berhadapan langsung dengan kasus-kasus nyata. Sebuah penelitian yang menganalisis putusan pengadilan, misalnya, dapat memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana hukum diterapkan dalam praktik.

Jadi, mengapa studi kasus kurang diminati? Ini bukan hanya soal ketersediaan sumber daya, tetapi juga kendala praktis dan psikologis. Mahasiswa menghadapi tantangan besar dalam menemukan data yang relevan, mengatur jadwal bimbingan yang rumit, dan menghadapi ketidakpastian yang melekat pada penelitian lapangan. Selain itu, ada hambatan psikologis seperti kecemasan dan writer’s block, yang diperparah oleh kompleksitas data kualitatif. Pilihan konvensional adalah cara mahasiswa untuk menghindari kesulitan-kesulitan ini.

Untuk mengatasi ini, pendidikan hukum di Indonesia harus berani berinovasi. Institusi harus mempromosikan reformasi kurikulum yang mengintegrasikan metode studi kasus sebagai bagian integral dari proses belajar. Dosen pembimbing juga harus dibekali dengan kapasitas yang memadai untuk membimbing penelitian empiris, bukan hanya normatif.

Langkah-langkah ini akan menghasilkan sarjana hukum yang tidak hanya menguasai teori hukum, tetapi juga memiliki keterampilan praktis yang relevan untuk menghadapi kompleksitas sosial di dunia nyata.
Pada akhirnya, perubahan ini bukan hanya tentang metode penelitian, melainkan tentang filosofi pendidikan hukum itu sendiri. Indonesia membutuhkan generasi sarjana hukum yang progresif, yang mampu menjembatani kesenjangan antara teks hukum dan realitas sosial.

Mengubah mentalitas dari ”law in books” menjadi ”law in action” adalah langkah pertama dan terpenting dalam revolusi ini.
*Penulis: Alumni S2 Perbandingan Hukum dari Ahmad Ibrahim Kulliyah of Law, IIUM Malaysia, dan juga dosen hukum di Program Studi Hukum Ekonomi Syariah STIS Nahdhatul Ulama Aceh.