Penghapusan Jurusan di SMA ; Penghapusan Stigmasi

  • Oleh : Khairuddin MPd, Kepala SMAN 7 Matangkuli

KABARDAILY.COM  – Belakangan mulai ribut dengan penghapusan jurusan IPA, IPS dan Bahasa dalam Kurikulum Merdeka di jenjang SMA. Ribut belakangan ini seolah semakin menegaskan kalau perhatian sebagian kalangan luput akan perubahan. Kalangan yang meributkan itu dominannya politisi bukan praktisi atau pemain dalam dunia pendidikan.

Penghapusan jurusan pada SMA sejatinya sudah dilakukan pada 2021 melalui kurikulum Prototype di Sekolah Penggerak tahap I dan II. Secara masif terjadi di 2022, baik di sekolah penggerak tahap III maupun di sekolah Implementasi Kurikulum Merdeka dengan pola Mandiri Berubah dan Mandiri Berbagi. Aturan itu termaktub dalam Kepmendikbudristek 262/M/2022 hingga aturan Kurikulum Nasional Permendikbud No. 12 tahun 2024.

Selain penghapusan jurusan, juga terjadi pengenalan Fase di setiap jenjang pendidikan, mulai Fase Paud, Fase A-B-C untuk SD, Fase D untuk SMP dan Fase E-F untuk SMA.

Bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun kita merasa dikotak-kotakkan oleh jurusan. Sebagian nyaman dengan kondisi itu. Sebagian penentu kebijakan kurikulum merasa tidak relevan lagi penjurusan ada di sekolah yang pelajarannya umum. Toh ketika anak IPS bisa mengambil jurusan Teknik dan Kedokteran, apa gunanya lagi jurusan. Begitu pula dengan “kecerdasannya” anak IPA bisa secara bebas mengambil pilihan IPS ketika masuk perguruan tinggi, buat apa lagi jurusan.

Secara kurikulum pun sebenarnya di K13, sudah mulai melunak urusan penjurusan ini. Saat kelas IPA ada lintas IPS, begitu juga saat kelas IPS bisa terdapat pelajaran IPA, kenapa gak sekalian saja dibuat kelas yang melebur. Tentu saja ini bukan pembidohan, bahkan memberi kesempatan anak yang senang Sosiologi juga bisa belajar Biologi, karena senanh keduanya.

Sy sendiri merasakan itu dulu ketika SMU, sy senang Matematika, Fisika, namun juga punya minat tinggi pada Geografi dan Sejarah. Hampir saja dulu saya jurusan IPS karena guru Geografi “jatuh cinta” sama sy. Bapak Geografi meminta sy ikut beliau di kelas 3-IPS. Cita-cita sy jadi anak teknik menghambat hubungan kami. Siapa tahu pula akhirnya sy menjadi pemilik segala jurusan. Iya kan, jadi guru tuh asik, bisa masuk kelas IPA, IPS atau Bahasa. Guru mah sultan urusan jurusan.

Dalam banyak kesempatan ketika membersamai guru belajar Kurikulum Merdeka, sy kerap memberi contoh anak IPA dan IPS. Semisal di sekolah, anggapan guru, hebat atau pintar mana anak IPA dan IPS ? Dominan peserta menjawab, anak IPA. Kalau junpa di pasar, duluan mana negur, anak IPA atau IPS, seluruh peserta menjawab IPS. Bahkan tidak jarang anak IPS yang membayar belanjaan kita, menggotong belanjaan. Mereka bisa penuh empati padahal di sekolah dianggap anak bermasalah, tapi di luar sekolah bersikap melebihi pelajar Pancasila ala anak IPA.

Rasa empati itu mereka bangun, punya ketekunan karena terlanjur distigma buruk, justru dalam kehidupan, anak IPS lebih resilien dan kerap menjadi pemimpin.

Lalu salahkah anak IPA ?!. Sebagai anak IPA, tentu sy tidak mau disalahkan (nah ini ciri banget orang IPA, sering merasa paling benar karena dianggap orang pintar). Anak IPA jika jumpa di pasar dengan gurunya sering diam-diam ngacir. Bisa jadi karena mereka minder, sudah duluam distigmasi sebagai anak baik, anak sempurna, pintar, akhlaknya tinggi, sopan santunya adi luhur dan segala kebaikan lainnya. Tapi sayang, itu hanya di sekolah yang kadang tidak membekas dalam kehidupan sehari-hari.

Iya, pendidikan di sekolah masih berjarak dengan kehupan nyata di lingkungan. Justru sy melihat, kurikulum ini memangkas jarak tersebut, disparitasnya harus sekecil mungkin. Termasuk jurusan SMA yang sudah bertahun-tahun kita jalani. Ternyata tidak memberi dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa. Malah jauh dari yang diharapkan.

Menurut sy, jurusan sekolah hanyalah stigmasi saja. Justru menumbuhkan kesombongan dan keegoan. Sudah tepat kurikulum SMA menghapus jurusan, sembari meningkatkan rasa empati dan kemandirian dalam apa pun keahlian. Sudah tepat, setiap anak dibuat sama dalam memperoleh manfaat di sekolah melalui pembentukan Profil Pelajar Pancasila. Bukan keluar SMA, elu anak IPA yang pintar dan elegan, guwe anak IPS yang relatif bebas dan selengean.

Setiap perubahan pasti menimbulkan gejolak. Tidak ujug-ujung langsung diterima masyarakat. Namun berilah kesempatan, sambil melihat sisi positif dari perubahan. InsyaAllah penghapusan jurusan memberi kebaikan.