Matahari Bermuka Dua

- Oleh : Muklis Puna
Setelah matahari kembar
bersatu dalam cawan politik,
Menyaru dalam kepedulian
orang -orang berdiri di atas kepala sendiri
Resah – resah pemilik jiwa,
tersungkur dalam jurang kepentingan
Adalah dendam di ubun- ubun melorot,
Lalu meleleh di kaki-kaki politik
Jiwa- jiwa dirampas malam itu,
penasaran mengusung tanya
Mengapa tulisan hidup berbeda lafaz?
Mengapa lidah melaju ke lain arah?
Kenapa bendera putih harus menghapus cita?
Berkibar di pagi buta lalu telanjangkan dada
Kemana akad yang kau lafal saat gegap gempita?
Kemana arah menguap darah yang tumpah di hari huru-hara?
Darah-darah mengalir menyusur kali
Kali dibendung umbul -umbul
Megalir di jalan duka
Beku mengental di atas aspal
Dieram matahari dan bulan bermalam-malam
Dikikis pedal-pedal sedan berplat mewah
Setelah matahari kembar bersatu dalam cawan
Kasak- kusuk mundur sampai ke hulu
Dijemput ombak, digulung pasang
Dibuai angin barat jadi kenangan semasa
Haluan kisah diputar mengarah ke selatan
Menyelingkuhi nafsu melilit usus
Setelah darah- darah itu kerontang
Jiwa- jiwa penasaran pulang menuju kandil
Wajah pucat, dalam ragu ia menatap Tuhannya
Dalam haru Dia bertanya
Dimana tempat ku Tuhan?
Bagaimana takdirku?
Di sana…
Bulan dan matahari saling tatap
Berangkulan melepas mesra
Mengusir dendam
Membuang sekat
Menghapus kotak- kotak
Bermuka satu berjasad dua
Setelah matahari kembar itu menyaru
Aku adalah jiwa yang tergoda
Kupikir ada syurga gratis di sana
Ada keikhlasan demi cintaku padaMu
Tuhan…
Dimana takdir yang telah Kau tuliskan?
Biarkan darahku mengental dengan aspal negeri
Karena di sana, nasibku menggantung
di tangan dewi keadilan
Lhokseumawe, 4 Maret 2020