JANTHO,KABARDAILY.COM – Aula Kampus Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh di Jantho, pada Jum’at malam (12/9), dipenuhi lantunan bunyi rapai yang menggema penuh energi spiritual.
Pertunjukan musik bertajuk “Dialog Bunyi: Reinterpretasi Uroh Rapai sebagai Manifestasi Kesalehan Sosial” bukan hanya menghibur, tetapi juga menghadirkan pengalaman rohani yang menyentuh hati. Malam itu, para penonton seolah diajak menyusuri jejak sufisme dalam tradisi Aceh melalui medium bunyi dan ritme.
Karya musik ini lahir dari penelitian hibah kompetitif Dosen Pemula (PDP) yang didanai oleh Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan (Ditjen Risbang) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) Republik Indonesia tahun 2025.
Penelitian dipimpin oleh Dr. Angga Eka Karina, M.Sn., dengan melibatkan anggota tim Dwindy Putri Cufara, M.Sn. Sebagai sebuah riset berbasis praktik seni, karya ini menghadirkan kembali nilai tradisi sekaligus memberi wajah baru pada Rapai Pase.
Menurut Dr. Angga, gagasan Dialog Bunyi berangkat dari penelitian lapangan yang mendalam terhadap tradisi Uroh Rapai Pase di Aceh Utara. Ia menegaskan bahwa kesenian tersebut tidak sekadar hiburan, tetapi sarana spiritual yang menyatukan manusia dengan Sang Pencipta. “Uroh Rapai Pase adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan nilai-nilai sufi, dimensi spiritual Islam yang menekankan penyucian jiwa dan pencarian kedekatan dengan Tuhan,” jelasnya.
Dalam karya ini, Dr. Angga menginterpretasikan tiga prinsip kesalehan sosial yang terkandung dalam Uroh Rapai Pase, yakni habluminal‘alam (hubungan dengan alam), habluminannas (hubungan dengan sesama manusia), dan habluminallah (hubungan dengan Tuhan). Nilai-nilai ini kemudian diterjemahkan dalam bentuk musikal kontemporer, menghasilkan pertunjukan yang segar namun tetap berpijak pada akar spiritual Aceh.
Pertunjukan Dialog Bunyi pun sukses menyedot perhatian. Tidak hanya masyarakat Jantho yang hadir, tetapi juga mahasiswa, dosen, hingga pimpinan kampus ISBI Aceh. Mereka larut dalam alunan rapai yang berpadu dengan konsep musikal baru. Sorak tepuk tangan meriah menjadi bukti bahwa seni tradisi Aceh masih relevan dan mampu berbicara dalam konteks modern.
Kepala LPPM ISBI Aceh, Saniman Andi Kafri, M.Sn., memberikan apresiasi tinggi atas karya tersebut. “Kami sangat bangga dengan hasil kerja maksimal yang telah ditunjukkan. Khususnya karya Dialog Bunyi, Uroh Rapai Pase telah hidup kembali sebagai representasi sufisme para pendakwah terdahulu yang berdakwah melalui media seni,” ungkap Saniman
Ia juga menambahkan bahwa tahun ini dosen ISBI Aceh banyak meraih hibah penelitian dan pengabdian dari berbagai sumber, termasuk Kemendiktisaintek, Dana Indonesiana, dan BPK Wilayah I Aceh. Menurutnya, capaian ini membuktikan bahwa dosen ISBI Aceh semakin produktif dan berperan aktif dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni berbasis budaya lokal.
Tak hanya dari kalangan akademisi, apresiasi juga datang dari para mahasiswa yang ikut terlibat dalam pertunjukan. Salah satunya, Zaki, mahasiswa Prodi Seni Karawitan ISBI Aceh yang menjadi salah satu penampil, mengaku bangga dapat ikut serta. “Bagi saya, tampil di karya ini bukan hanya soal bermusik, tetapi juga cara memahami nilai spiritual yang ada dalam tradisi kita. Rasanya berbeda, ada getaran yang membuat saya semakin mencintai budaya Aceh,” ungkapnya dengan penuh semangat.
Malam itu, Dialog Bunyi tidak hanya menjadi bukti keberhasilan riset seni, melainkan juga perayaan kebangkitan tradisi. Melalui sentuhan kontemporer, Uroh Rapai Pase kembali hadir sebagai media dakwah dan sarana penyebaran nilai-nilai luhur. Karya ini membuktikan bahwa seni mampu menjembatani masa lalu dan masa kini, serta tetap relevan di tengah perubahan zaman.
Pertunjukan ini akhirnya menegaskan kembali peran seni sebagai ruang refleksi spiritual sekaligus pelestarian budaya. Dari lantunan rapai yang menggema di Aula ISBI Aceh, lahirlah pesan bahwa nilai-nilai sufisme dan kesalehan sosial masih tetap hidup—siap diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.