- Oleh Bung Syarif*
KABARDAILY.COM – Dalam kajian ilmu ushul fiqh, dikenal konsep النَّاسِخ (an-nāsikh) ‐ الْمَنْسُوخ (al-mansūkh), yakni pembatalan hukum sebelumnya oleh hukum baru yang muncul kemudian. Konsep ini tidak berarti hukum lama salah, melainkan bagian dari mekanisme dinamis hukum yang selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman (al-Suyuti, 2008). Analogi ini relevan untuk menjelaskan dinamika regulasi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia. Perjalanan dari UU Nomor 43 Tahun 1999, UU Nomor 5 Tahun 2014, hingga UU Nomor 20 Tahun 2023 menunjukkan adanya pola serupa: regulasi lama (mansukh) digantikan oleh regulasi baru (nasikh) demi menyesuaikan kebutuhan tata kelola manajemen aparatur sipil negara.
Perubahan Regulasi ASN: Dari PNS Tunggal ke P3K
UU Nomor 43 Tahun 1999 menegaskan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai satu-satunya pegawai negara. Regulasi ini berupaya membangun birokrasi profesional pasca-reformasi, tetapi gagal mengatasi problem tenaga honorer yang merebak di banyak instansi (Dwiyanto, 2015). Untuk menjawab persoalan tersebut, lahirlah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang memperkenalkan dua kategori aparatur: PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P#K). Namun, implementasi Undang-Undang ini tidak sepenuhnya berhasil. Honorer tetap ada, P3K belum optimal, dan dualisme status kepegawaian masih berlangsung.
Sebagai nasikh terbaru, UU Nomor 20 Tahun 2023 menegaskan bahwa ASN hanya terdiri dari PNS dan P3K. Seluruh istilah lain seperti honorer, pegawai kontrak, atau non-ASN dihapuskan, dan tenaga eksisting non ASN diseluruh instansi pemerintah menurut UU harus dilakukan penataan sampai batas akhir desember 2024.
Dengan demikian, regulasi ini bermaksud menjadi hukum final yang mengakhiri polemik status pegawai pemerintah (Undang-Undang No. 20 Tahun 2023).
Analogi Nasikh–Mansukh dan Teori Perubahan Hukum
Dalam perspektif teori hukum, perubahan regulasi ASN ini sejalan dengan pandangan bahwa hukum adalah produk sosial yang harus adaptif terhadap dinamika masyarakat (Teubner, 1993). Dalam kajian hukum Belanda dikenal istilah lex posterior derogat legi priori (hukum yang lebih baru mengesampingkan hukum lama), yang secara prinsip identik dengan nasikh–mansukh dalam tradisi Islam (Marzuki, 2017). Artinya, perubahan UU ASN adalah konsekuensi logis dari kebutuhan sosial-politik birokrasi modern.
Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Friedman (1975), hukum tidak hanya berhenti pada teks, melainkan juga pada struktur dan kultur. UU Nomor 20 Tahun 2023 meski menjadi nasikh, dalam praktik masih menyisakan problem implementasi: diskriminasi dan ketidaksetaraan hak antar PNS dan P3K. Dengan kata lain, nasikh ini pun berpotensi mengalami revisi bila tidak mampu menjawab persoalan secara tuntas.
Perlunya Ijtihad Kebijakan
Konsep nasikh–mansukh menunjukkan bahwa perubahan hukum adalah keniscayaan. Namun, dalam konteks regulasi ASN, perubahan saja tidak cukup tanpa diiringi dengan ijtihad kebijakan. Ijtihad kebijakan dimaknai sebagai upaya kreatif, progresif, dan kontekstual pemerintah dalam menafsirkan serta mengimplementasikan regulasi agar tetap adil, adaptif, dan menjawab tantangan sosial.
Khatimah
Transformasi dari honorer menuju P3K merupakan cerminan nyata bahwa hukum positif di Indonesia juga mengikuti logika nasikh–mansukh. UU Nomor 43 Tahun 1999 (mansukh) gagal menjawab masalah honorer; UU Nomor 5 Tahun 2014 (nasikh sementara) mengenalkan P3K namun tidak tuntas; dan UU Nomor 20 Tahun 2023 hadir sebagai nasikh terbaru yang berupaya menutup perdebatan.
Namun, persoalan implementasi menunjukkan bahwa regulasi ini belum sepenuhnya final.
Oleh karena itu, dibutuhkan ijtihad kebijakan sebagai instrumen dinamis agar regulasi ASN tidak hanya berhenti pada teks, tetapi juga menjelma sebagai solusi nyata. Adapun contoh Ijtihad Kebijakan dalam Transformasi ASN yang diperlukan meliputi;
Equal Pay for Equal Work
Pemerintah dapat menafsirkan prinsip kesetaraan dengan memastikan P3K menerima pendapatan dan fasilitas yang sama dengan PNS, sesuai asas “pekerjaan yang sama harus dibayar dengan upah yang sama.”
Jaminan Karier yang Berkeadilan
Meskipun berbasis kontrak, P3K seharusnya diberi akses pada pengembangan diri (karier, kompetensi) bahkan peluang untuk menduduki jabatan struktural tertentu, agar tidak stagnan dalam birokrasi.
Perlindungan Sosial yang Komprehensif
Ijtihad kebijakan dapat mewujudkan skema pensiun dan jaminan hari tua bagi P3K, sehingga status mereka tidak sekadar “pekerja kontrak”, tetapi bagian dari aparatur negara yang dijamin keberlangsungan hidupnya.
Transisi P3K ke ASN
Sebagai bentuk ijtihad solutif, pemerintah dapat membuka jalur transisi khusus bagi P3K yang telah mengabdi bertahun-tahun dengan kinerja baik, agar bisa diangkat menjadi ASN (red PNS) tanpa menyalahi prinsip meritokrasi; “dimana penghargaan dan kemajian didasarkan pada kemampuan, prestasi dan bakat individu, bukan pada status sosial, kekayaan atau koneksi pribadi”. Dalam sistem ini orang dengan kemampuan dan kinerja tertinggi akan menduduki posisi teratas, yang bertujuan menciptakan lingkungan yang adil, transparan dan menghargai usaha serta potensi setiap orang.
*Penulis adalah Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Kota Banda Aceh, Mantan Kepala UPTB e-Kinerja PNS Kota Banda Aceh, Direktur Aceh Research Institute (ARI), ICMI Kota Banda Aceh, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry