- Oleh:Raudatul Jannah, Mahasiswa ISBI Aceh
KABARDAILY.COM | OPINI – Di tengah kekayaan budaya Aceh yang kental dengan tradisi dan agama, pertanyaan tentang sejauh mana seni dapat berkembang tanpa bertentangan dengan nilai-nilai agama kembali mengemuka.
Masyarakat Aceh, yang dikenal dengan penerapan syariat Islam, memiliki pandangan yang beragam terkait dengan hubungan antara seni dan agama. Ada yang melihat seni sebagai bentuk ekspresi yang sejalan dengan ajaran agama, namun tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa seni harus dibatasi agar tidak mengarah pada hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma Islam.
Seni di Aceh, sejak dahulu kala, tidak lepas dari pengaruh agama. Banyak bentuk seni tradisional, seperti tari saman, musik, dan seni ukir, yang memiliki nilai spiritual dan kerap digunakan dalam acara keagamaan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman dan munculnya berbagai bentuk seni baru, timbul perdebatan mengenai apakah seni bisa tetap berjalan seiring dengan ajaran agama, atau malah menjadi tantangan bagi nilai-nilai moral masyarakat.
Menurut Abdul Malik (55), seorang tokoh agama Aceh, seni yang tidak sesuai dengan ajaran agama dapat berisiko menyesatkan generasi muda. “Seni harus membawa pesan yang positif, yang mengajarkan kebaikan dan kedamaian, tetapi tetap tidak boleh melanggar aturan agama. Banyak seni yang justru mengarah pada hal-hal negatif, seperti tari yang mengandung unsur erotisme atau musik yang mendukung perilaku yang tidak sesuai dengan syariat,” ujarnya.
Pandangan konservatif ini didukung oleh sebagian masyarakat Aceh yang menganggap bahwa seni harus selalu mengutamakan norma-norma agama. Namun, kelompok lain yang lebih progresif berpendapat bahwa seni bisa menjadi sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai yang tetap sejalan dengan agama, tanpa harus dibatasi oleh pandangan yang terlalu ketat.
Nurul Aini (28), seorang seniman muda Aceh, mengungkapkan bahwa seni bisa menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. “Seni adalah bagian dari ekspresi budaya. Selama seni tersebut tidak melanggar batasan moral, saya rasa tidak ada salahnya jika seni berkembang. Misalnya, dengan memanfaatkan seni untuk menyampaikan pesan-pesan Islami yang positif atau menceritakan sejarah Aceh yang penuh kearifan,” tuturnya.
Dari sisi lain, sejumlah akademisi juga berpendapat bahwa seni tidak selalu harus dianggap sebagai ancaman terhadap agama. Dedi (34), seorang dosen di Universitas Syiah Kuala, berpendapat bahwa seni adalah bagian dari kebudayaan yang dapat memperkaya hidup, asalkan tetap memperhatikan aspek moral dan etika yang dianut masyarakat. “Seni dan agama bisa berjalan seiring, selama seni tersebut mampu mempertahankan nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam agama. Seni bukan hanya soal hiburan, tetapi juga tentang pendidikan dan penyampaian pesan moral kepada masyarakat,” jelasnya.
Pemerintah Aceh, melalui kebijakan yang mengatur kegiatan seni, berusaha menemukan titik tengah antara pelestarian seni tradisional dan penerapan syariat Islam. Beberapa kegiatan seni yang dianggap bertentangan dengan syariat, seperti pertunjukan yang mengandung unsur sensualitas, memang sering kali mendapat perhatian lebih dari pihak berwenang. Namun, pemerintah juga memberikan ruang bagi kegiatan seni yang bernuansa religius atau yang mengandung pesan moral yang positif.
Sebagai kesimpulan, hubungan antara agama dan seni di Aceh tidak bisa disamaratakan. Ada berbagai pandangan yang harus dihargai dalam menyikapi masalah ini. Bagi sebagian orang, seni harus selalu sejalan dengan ajaran agama, sementara bagi yang lain, seni bisa menjadi alat untuk menyampaikan nilai-nilai moral yang mendalam tanpa mengesampingkan kebebasan berekspresi. Dialog yang konstruktif dan terbuka mengenai batasan seni dan agama sangat penting agar seni tetap dapat berkembang di Aceh, selaras dengan nilai-nilai luhur yang dianut masyarakat.