Banda Aceh,kabardaily.com – Pusat Studi Persia UIN Ar-Raniry menggelar fokus group discussion (FGD) bekerjasama dengan Kebudayaan Islam Iran di Jakarta bertema “Apa Tanggapan Intelektual Aceh terhadap Revolusi Islam Imam Khomeini” , di Solong Caffe Jepang Banda Aceh, Senin 05 Juni 2023.
Kegiatan FGD ini dipadu oleh Nurma Dewi dengan pematerinya diisi oleh Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA dan menghadirkan sejumlah intelektual-intelektual muda Aceh baik yang sudah selesai doktoral maupun yang sedang mengambil doktor di Pascasarjana UIN Ar-Raniry.
Pembahas lain dalam acara ini, yaitu ibu Dr. Chairan M. Nur, M. Ag tokoh perempuan yang pernah melakukan riset (disertasi UIN Jakarta) terhadap pemikiran Imam khomaini, ibu Dr. Murni, M.Pd Akademisi & penulis, Dr. Syamsul Bahri guru, peneliti & penulis, Bapak Drs. M. Jakfar Puteh, M. Pd tokoh masyarakat, Dr. Zulkhaidir Widyawasra BPSDM Aceh, Dr. Dicky Wirianto Akademisi & peneliti tarekat di Asia, Dr. Fakhrul Rijal Akademi & Politik, Ustad Syahrizal, MA dari dayah Inshafuddin, dan juga hadir kandidat doktor Pascasarjana UIN Ar-Raniry yaitu Nurdin, Assauti Wahid, dan Kudri.
Pertemuan ini juga dihadiri oleh generasi milenals sebagai sebuah gerakan intelektual bagi kaum muda.
Sebagai pemantik wacana disampaikan oleh Prof Hasbi. Dia telah membaca peristiwa revolusi Islam Imam Khomeini ini ketika peristiwa itu terjadi di tahun 1979. Kala itu ada wartawan Indonesia Nasir Tamara dari Suara Pembaharuan yang melaporkan peristiwa revolusi itu setiap hari.
Nasir Tamara termasuk ikut dalam pesawat yang membawa pulang Imam Khomeini dari Perancis ke Iran. Latar belakang munculnya revolusi Islam di Iran, ketika Iran dipimpin oleh rezim Shah Reza Pahlevi, di mana praktik pemerintah yang dijalankan secara otoriter dan juga tidak lagi sesuai dengan cita-cita bangsa Iran pada waktu itu.
Di samping itu juga, perilaku hidup mewah Shah Reza yang jauh dari ajaran Islam yang dianut mayoritas rakyat Iran. Sementara sebagian masyarakat Iran ketika itu hidup dalam kondisi melarat. Kemewahan istana Shah Reza masih dijadikan objek wisata oleh pemerintah Iran sampai sekarang. Yang dilaporkan oleh beberapa wartawan yang sempat di undang ke Taheran beberapa tahun yang lalu.
Karena Imam Khomeini sering berbicara lantang dan mengkritik rezim Shah Reza sebagai mewakili ulama-ulama di iran, hingga kemudian Imam Khomeini dipenjara dan diasingkan.
Meskipun demikian, pemikiran-pemikiran Imam Khomeini tetap hidup dan terus dikumandangkan kendatipun Imam Khomeini berada di pengasingan. Di antara sekian banyak perubahan yang terjadi di Iran pasca revolusi adalah pengaruh pada perilaku hidup sederhana masyarakat yang dicontohkan oleh Imam Khomeini sebagai pemimpin spiritual rakyat Iran.
Pelajaran lain yang dapat kita ambil dari gerakan revolusi itu adalah semangat untuk memajukan bangsa Iran, termasuk dalam pengembangan ilmu.
Dalam membangun negeri mereka akrab kerjasama ulama dan intelektual. Revolusi Iran seharusnya memberi gambaran bagi mahasiswa atau pemuda-pemuda Indonesia untuk bangkit dan bertekad mempelajari ilmu pengetahuan.
Karena, dengan ilmu pengetahuan dapat membantu sebuah negara maju dalam berbagai aspek pembangunan.
Menurut Dr. Chairan, revolusi Islam membangkitkan semangat masyarakat dan negaranya. Bagaimana mungkin dengan kehidupan masyarakatnya yang sangat sederhana namun mereka memiliki pemikiran yang luar biasa.
Sementara Drs. M. Jakfar Puteh, M.Pd menyebutkan, Imam Khomeini adalah sosok yang tidak pernah berhenti mengkritik pemerintan Shah Reza. Begitupun pasca revolusi adanya semangat keilmuan di Iran dan kepedulian kepada pendidikan menjadikan negara Iran terus berkembang dari waktu kewaktu.
Dr. Zulkhaidir mengatakan, kita harus menemukan kekuatan akar dari revolusi ini. Dengan begitu, pemikiran-pemikiran revolusi Islam dapat dikembangkan dalam paradigm berpikir ilmiah di Aceh.
Diskusi-diskusi tentang Persia dulu sangat hidup di Pascasarja, namun karena banyak tanggapan negatif, diskusi-diskusi ilmiah seperti ini tidak adalagi, terang Dr Syamsul Bahri.
Adapun Bapak Nurdin (mahasiswa doktor Pascasarjana) menyebutkan bahwa banyak kajian tentang perkembangan Islam di awal revolusi Islam Khomeini, dan ini sangat bagus. Perkembangan revolusi inipun sampai ke Aceh.
Sementara itu, Dr. Dicky Wirianto, mencoba melihat Aceh dari sudut pandang konsep imamah. Sebenarnya di Aceh sudah ada qanun yang memberi syarat kepada calon-calon pemimpin mulai dari tingkat terendah yaitu geuchik (kepala desa), penunjukan calon gubernur harus melalui tahapan salah satunya adalah latar belakang pendidikannya, kefahamannya terhadap agama, juga akhlak.
Standar-standar iniah kemudian disampaikan kepada masyarakat, silakan memilih. Dengan berpedoman pada qanun, apakah ada kesamaan konsep Imamah antara Iran dan Aceh? Apakah konsep Wali Nanggroe dipersiapkan seperti konsep Imam Khomeini, yang nantinya Wali Nanggroe dapat memilih dan mengatur jalannya pemerintahan di Aceh.
Dr. Fakhrul Rijal menyampaikan Iran sebelum revolusi sangat tergantung kepada negara asing, pasca revolusi Iran masih lemah. Seiring waktu dan bangkitnya kesadaran keilmuan, Iran menjadi negara Islam yang mandiri. Tetapi di sinilagi-lagi media Barat menciptakan narasi untuk membenci Iran.
“Apa yang membuat Iran kuat, ini dikarenakan nilau tauhid. Ketika tauhid benar, makatidak ada koropsi,tidak ada kecurangan, tidak ada bermegah-megahan, dan tidak ada perilaku-perilaku buruk lainnya, tutur Prof. M. Hasbi Amiruddin dipenutup diskusi ini.[]