Meugang dan Rasa Rindu kepada Ibu
- Penulis Fitriadi Mahmud, Guru SMKN 1 Al Mubarkeya
KABARDAILY.COM | OPINI – Hari ini, kota tempat tinggalku terasa ramai namun sepi dalam hatiku. Hari Meugang, hari yang sangat sakral bagi masyarakat Aceh, membawa perasaan campur aduk dalam diriku. Meugang adalah momen di mana keluarga berkumpul, menyembelih hewan, dan makan daging bersama orang tua, sanak saudara, dan tetangga.
Namun, tahun ini, aku tidak bisa pulang ke kampung halaman. Hati kecilku terus mengingat sosok ibuku yang telah berusia kurang lebih 90 tahun, satu-satunya orang tua yang masih tersisa setelah ayahku meninggal 25 tahun yang lalu.
Di balik hiruk-pikuk kota, pikiranku melayang kembali ke kampung halaman. Aku teringat wajah ibuku yang keriput namun penuh cinta, suaranya yang lembut, dan senyumannya yang selalu memberikan kehangatan.
Setiap Meugang, ibuku selalu sibuk menyiapkan daging dan berbagai hidangan khas Aceh. Kami sekeluarga akan duduk bersama di meja makan, bercengkerama, dan menikmati kebersamaan yang penuh keakraban.
Namun, tahun ini berbeda. Jarak dan keadaan memaksa kami untuk berjauhan. Rasa sedih tak bisa dihindari, namun doa-doaku tak pernah berhenti mengalir. “Semoga Ibu selalu sehat wal afiat,” begitu aku terus berdoa dalam hati. Aku berharap ibuku merasakan kehadiranku meski hanya dalam doa dan kenangan.
Pagi ini, aku bangun dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, Meugang selalu membawa kenangan indah tentang kebersamaan dengan keluarga. Di sisi lain, ketidakmampuanku untuk pulang membuatku merasa bersalah dan sedih. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan berbagai kegiatan, tetapi bayangan ibuku terus menghantui.
Ibu adalah sosok yang sangat kuat dan penuh kasih. Setelah ayah meninggal, beliau tetap tegar dan berusaha membesarkan kami dengan penuh cinta dan pengorbanan. Setiap Meugang, ibuku selalu memastikan bahwa meja makan kami penuh dengan hidangan lezat yang beliau masak dengan sepenuh hati. Rasanya, aroma masakan ibu selalu bisa menghangatkan hatiku, membuat segala beban dan kesedihan hilang sejenak.
Kini, di usia yang menginjak 90 tahun, ibuku masih menunjukkan ketegaran yang luar biasa. Beliau tetap menjaga tradisi Meugang dengan penuh semangat meskipun kondisi fisiknya tidak sekuat dulu. Setiap kali aku berbicara dengannya melalui telepon, beliau selalu berusaha terdengar ceria dan kuat, meskipun aku tahu di balik itu ada kerinduan yang mendalam untuk berkumpul bersama keluarga.
Pada hari Meugang ini, meskipun aku tidak bisa berada di kampung halaman, aku mencoba menciptakan suasana yang mirip di rumahku sendiri. Aku pergi ke pasar, membeli daging, dan memasak beberapa hidangan khas Aceh yang biasanya kami nikmati saat Meugang. Saat aroma masakan mulai memenuhi rumah, hatiku terasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, dengan cara ini, aku merasa sedikit lebih dekat dengan ibuku.
Malam harinya, aku duduk di ruang tamu, menatap foto keluarga yang tergantung di dinding. Foto itu diambil pada Meugang bertahun-tahun yang lalu, saat ayah masih hidup. Ayah dengan senyum hangatnya, ibu dengan kebanggaan di matanya, dan kami anak-anak yang bersuka cita. Kenangan itu terasa begitu dekat, seolah baru terjadi kemarin.
Aku teringat pesan ayah dulu, “Keluarga adalah segalanya. Jaga ibu dengan segenap hatimu.” Kata-kata itu selalu terpatri dalam diriku. Meskipun tidak bisa berada di sana secara fisik, aku tahu bahwa hatiku selalu bersama ibu. Aku tahu bahwa beliau merasakan kehadiranku melalui doa-doa yang tak pernah putus.
Dalam keheningan malam, aku merenung dan berdoa. Aku tahu bahwa meskipun fisikku tidak bisa berada di kampung halaman, hatiku selalu bersama ibuku. Setiap doa yang aku panjatkan adalah harapan bahwa beliau selalu sehat dan bahagia. Aku juga berdoa agar aku diberikan kekuatan untuk bisa segera pulang dan berkumpul bersama lagi.
“Semoga Ibu selalu sehat wal afiat,” doaku kembali terucap. Meski tidak bisa bertemu langsung, hatiku selalu terikat dalam ikatan cinta yang tidak terpisahkan oleh jarak. Aku yakin bahwa ibu juga merasakan hal yang sama, dan doa-doaku akan menjadi pelindung baginya. Di dalam kesendirianku, aku menemukan kekuatan dalam kenangan dan cinta keluarga yang abadi.
Hari Meugang ini menjadi pengingat bahwa cinta keluarga adalah kekuatan terbesar yang selalu hadir dalam setiap langkah hidupku. Meskipun kita terpisah oleh jarak, aku tahu bahwa ikatan kita tidak akan pernah pudar. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjaga ibu dengan segenap hati, seperti yang ayah inginkan.
Aku terus berdoa dan berharap agar keadaan segera membaik, sehingga aku bisa pulang dan merayakan Meugang berikutnya bersama ibu dan keluarga. Hingga saat itu tiba, aku akan terus mengingat dan mendoakan ibu, karena beliau adalah sosok yang paling berharga dalam hidupku. Meski jarak memisahkan, cinta dan doa akan selalu menyatukan kami.
Hari Meugang ini, meskipun penuh rasa rindu dan kesedihan, juga penuh dengan cinta dan harapan. Cinta yang selalu menghubungkan kami meskipun jarak memisahkan, dan harapan bahwa suatu hari nanti, kami akan berkumpul kembali dan merayakan Meugang dengan penuh sukacita. Hingga saat itu tiba, aku akan terus mengenang, mendoakan, dan mencintai ibu dengan segenap hatiku.