- Oleh Ichsan MSn, Dosen ISBI Aceh
KABARDAILY.COM | OPINI – Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, memiliki warisan budaya yang begitu kaya, salah satunya adalah seni musik tradisionalnya. Namun, di balik keberagaman alat musik tradisional Aceh yang terkenal seperti rapa’i, serune kalee, dan gendang, ada satu alat musik yang nyaris dilupakan: Bereguh.
Alat musik tiup yang terbuat dari tanduk kerbau ini pernah memainkan peran penting dalam tradisi masyarakat Aceh. Kini, keberadaannya hampir punah, bahkan banyak generasi muda yang tidak mengenal apa itu Bereguh.
Bereguh adalah alat musik tradisional yang sederhana, tetapi sarat makna. Dibuat dari tanduk kerbau pilihan, alat musik ini menghasilkan bunyi melalui tiupan.
Meski terkesan sederhana, suara yang dihasilkan Bereguh cukup unik dan memiliki karakter tersendiri. Dalam konteks tradisional, Bereguh bukan hanya digunakan sebagai alat musik, tetapi juga alat komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu, terutama di komunitas agraris Aceh.
Namun, seiring perkembangan zaman, fungsi Bereguh semakin tergeser. Keterbatasan alat musik ini dalam mengaransemen nada menjadi salah satu alasan utama mengapa ia mulai ditinggalkan. Dibandingkan dengan alat musik lain yang lebih fleksibel dan dapat digunakan dalam berbagai komposisi musik, Bereguh dianggap kurang relevan. Akibatnya, perlahan-lahan ia terpinggirkan, hingga akhirnya hilang dari panggung seni Aceh.
Tahun 2012, ada upaya untuk menghidupkan kembali keberadaan Bereguh. Seorang seniman Aceh mencoba mengenalkan alat musik ini melalui karya seni rupa yang dipamerkan di Rumah Budaya Fadli Zon. Upaya ini berhasil menarik perhatian kalangan seni dan budaya, meskipun dampaknya belum cukup signifikan untuk mengembalikan Bereguh ke kesadaran masyarakat luas. Keberadaan Bereguh tetap sulit ditemukan, bahkan di Aceh sendiri.
Saat ini, hanya segelintir tempat yang masih menyimpan Bereguh, salah satunya adalah Museum Kota Juang di Bireuen. Museum ini menjadi saksi bisu perjalanan Bereguh sebagai bagian dari sejarah musik Aceh. Namun, sayangnya, keberadaan Bereguh di museum ini tidak cukup untuk memastikan kelangsungan hidup alat musik ini di tengah generasi muda.
Kehilangan Bereguh sebenarnya mencerminkan masalah yang lebih besar dalam pelestarian budaya tradisional. Banyak alat musik dan tradisi lokal yang perlahan menghilang karena kurangnya upaya dokumentasi dan regenerasi. Dalam konteks globalisasi, budaya lokal sering kali harus bersaing dengan budaya populer yang lebih dominan. Tanpa intervensi yang kuat, seperti program pelestarian atau edukasi budaya, warisan seperti Bereguh akan terus tergerus oleh waktu.
Sebagai bagian dari budaya Aceh, Bereguh sebenarnya memiliki potensi besar untuk dihidupkan kembali. Dalam dunia musik kontemporer, banyak seniman yang mencoba mengeksplorasi alat musik tradisional untuk menciptakan komposisi baru yang menarik. Jika Bereguh dapat dikemas ulang dan diperkenalkan ke dalam konteks modern, ada kemungkinan ia dapat menarik minat generasi muda. Misalnya, kolaborasi antara musisi tradisional dan modern dapat menjadi salah satu cara untuk menghidupkan kembali alat musik ini.
Selain itu, pendidikan budaya juga memegang peranan penting dalam melestarikan alat musik tradisional seperti Bereguh. Sekolah-sekolah di Aceh dapat memasukkan materi tentang alat musik tradisional ke dalam kurikulum mereka, sehingga generasi muda dapat mengenal dan menghargai warisan budaya mereka. Selain itu, program pelatihan musik tradisional dapat diadakan untuk memberikan keterampilan kepada anak-anak muda dalam memainkan alat musik seperti Bereguh.
Pemerintah juga memiliki peran yang tidak kalah penting dalam pelestarian budaya. Program-program pelestarian budaya, seperti festival musik tradisional atau hibah untuk penelitian budaya, dapat menjadi langkah awal untuk menghidupkan kembali Bereguh. Pemerintah daerah di Aceh dapat bekerja sama dengan para seniman, peneliti, dan komunitas budaya untuk mengidentifikasi cara terbaik dalam melestarikan alat musik ini.
Namun, pelestarian Bereguh tidak hanya tentang memperkenalkannya kembali ke masyarakat. Lebih dari itu, ini juga tentang memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Bereguh adalah bagian dari identitas budaya Aceh, dan kehilangan alat musik ini berarti kehilangan sebagian dari sejarah dan jati diri masyarakat Aceh. Oleh karena itu, upaya pelestarian Bereguh harus dilakukan dengan penuh kesadaran akan pentingnya menjaga warisan budaya untuk generasi mendatang.
Meskipun Bereguh saat ini telah nyaris hilang, harapan untuk menghidupkannya kembali masih ada. Upaya yang dilakukan pada tahun 2012 adalah langkah awal yang baik, meskipun masih membutuhkan dukungan yang lebih luas untuk menghasilkan dampak yang nyata. Dengan komitmen dari semua pihak, baik masyarakat, seniman, pemerintah, maupun institusi pendidikan, Bereguh dapat kembali dikenali sebagai bagian penting dari warisan budaya Aceh.
Menghidupkan kembali Bereguh bukan hanya tentang melestarikan alat musik yang hampir punah, tetapi juga tentang menghormati akar budaya dan identitas masyarakat Aceh. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, pelestarian alat musik tradisional seperti Bereguh adalah pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi. Semoga Bereguh tidak hanya menjadi artefak museum, tetapi juga alat musik yang kembali hidup dan berbunyi, mengingatkan kita akan kekayaan budaya yang dimiliki Aceh.