- Oleh Hamdani, S.Pd (Pegiat Literasi di Forum Penulis Aceh dan Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Lhokseumawe)
KABARDAILY.COM | OPINI – “Membaca adalah jendela dunia, dengan membaca kita mengenal dunia yang jauh di luar sana.” Itulah sebuah kalimat yang tepat untuk mengawali pembicaraan ini. Membaca merupakan pilar penting yang seharusnya perlu ditingkatkan dalam upaya pengembangan literasi.
Sejatinya membaca merupakan pengalihan ilmu pengetahuan dari sebuah buku atau karya tulis ke dalam pikiran seseorang. Wawasan yang dimiliki oleh seseorang dapat diperoleh dari seorang guru atau melalui membaca. Seperti dalam sebuah peribahasa disebutkan “Buku adalah gudang ilmu, kuncinya adalah membaca.” Dengan demikian, jika seseorang ingin pintar dan berwawasan berarti harus selalu akrab dengan guru, buku, dan dunia perpustakaan.
Mana mungkin sebuah negara akan maju, jika mutu pendidikan dan wawasan warga negaranya masih rendah. Maka untuk meningkatkan kemajuan dan mutu pendidikan perlu upaya-upaya yang sistematis dalam memajukan literasi. Mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela pernah berkata “Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk memajukan peradaban sebuah bangsa.” Ia menyadari bahwa pendidikan adalah jalan terbaik untuk menuju gerbang kemajuan sebuah bangsa.
Indonesia sebagai negara sedang berkembang memiliki peringkat terendah indeks kegemaran membaca di dunia menurut hasil survei UNESCO.Dikutip dari laman https://www.djkn.kemenkeu.go.id tingkat literasi masyarakat memiliki hubungan vertikal terhadap kualitas bangsa. Tolak ukur kemajuan serta peradaban suatu bangsa adalah budaya membaca yang telah mengakar pada masyarakatnya.
UNESCO menyatakan dari 1000 orang penduduk Indonesia, ternyata hanya satu orang yang memiliki minat baca. Indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Masyarakat Indonesia rata-rata membaca 0-1 buku setiap tahun. Berbeda dengan warga negara Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku setahun, sedangkan warga Jepang 10-15 buku setahun. Ini merupakan sebuah tragedi. Hal ini mengonfirmasi bahwa literasi masih termarjinalkan pada lanskap ekonomi dan politik negara kita.
Padahal jauh-jauh hari sebelum masyarakat di dunia bagian benua Amerika dan Eropa mengenal tradisi membaca yang dalam konteks modern disebut literasi. Islam sudah memerintahkan membaca sejak lebih dari 1400 tahun lalu. Sejak Allah Swt menurunkan wahyu Al-Qur’an ayat pertama: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS Al-‘Alaq: 1).
Membaca merupakan ajaran luhur agama Islam yang diperintahkan oleh Allah Swt kepada baginda Rasulullah Muhammad Saw dan umatnya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama pelopor pertama yang mengajak manusia untuk membaca.
Memahami dan Mengenal Literasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri, literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Akan tetapi, makna kata literasi tidak hanya dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga sebagai pemahaman yang lebih kompleks dan dinamis.
Faktanya, banyak sekali macam-macam definisi literasi yang terlahir dan dicetuskan oleh beberapa pihak, salah satunya ialah menurut National Institute for Literacy yang membantu untuk memahami bahwa kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah berada pada tingkat keterampilan yang dibutuhkan oleh pekerjaan, keluarga, dan masyarakat merupakan definisi dari apa ituliterasi. Pemahaman inilah yang menempatkan literasi dalam lingkungan kontekstual. Selain membaca dan menulis, literasi pun juga mendukung pada konteks lingkungan.
Sementara itu dikutip dari liputan6.com yang menjelaskan bahwa UNESCO memberikan pengertian literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, terutama keterampilan dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh, siapa yang memperoleh, dan bagaimana cara memperolehnya. Sementara itu, Education Development Center (EDC) memahami literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Sejalan dengan kemampuan tersebut, ketika seseorang dapat memaknai literasi, seseorang dapat membaca dunia.
Literasi juga disebut sebagai melek huruf karena literasi ini merupakan kemampuan dasar untuk mencari ilmu atau pengetahuan. Tetapi di zaman sekarang, literasi dikembangkan menjadi beberapa bagian seperti literasi finansial, literasi digital, literasi sains dan masih banyak lainnya.
Saat ini selain buku, hampir semua orang sangat mengenal yang namanya literasi digital. Literasi digital sangat dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat hampir diseluruh penjuru dunia. Menurut wikipedia, literasi digital atau kemelekan digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum sesuai dengan kegunaannya dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Literasi Dunia Islam
Di antara keagungan Islam adalah adanya warisan yang ditinggalkannya; baik berupa peninggalan fisik yang menunjukkan adanya peradaban (hadharah) atau pun warisan yang bersifat kebudayaan (tsaqafah) yang lebih menampilkan tingkah laku dan tradisi. Di sisi lain ada warisan agung berupa peninggalan intelektual yang lebih memperlihatkan adanya sejumlah karya para ilmuwan (turats).
Tradisi ilmiah semacam ini, para ahli menyebutnya dengan budaya literasi sebagaimana yang telah ditempuh para cerdik pandai (Al-‘Allamah, Al-‘Ulama) dalam bentangan karya-karya mereka yang tersebar di seantero jagat, sehingga bumi ini penuh dengan mozaik atau khazanah intelektual yang melimpah.
Sarjana Muslim dan Budaya Literasi
Tidak ada alasan untuk menjauhkan budaya literasi dari kehidupan sarjana muslim, kaitan keduanya laksana kolam dengan ikannya. Ikan akan mati sia-sia apabila kolam tidak dirawatnya dengan baik. Demikian pula dalam kehidupan pembelajaran; Malasnya para sarjana dalam menghidupkan membaca, menulis, berdiskusi, menganalisis dan aktivitas lainnya dapat menyebabkan kemalasan berfikir yang dapat menjadikan miskinnya gagasan, bahkan matinya gagasan.
Apabila iklim seperti ini tidak segera dipulihkan, maka yang terjadi adalah lahirnya sarjana-sarjana yang kehilangan jiwa kemandiriannya; sepi kreatifitasnya, mati inovasinya dan instan cara berfikirnya. Para salaf terdahulu, sangat menitikberatkan agar menjadi kaum pembelajar.
Milan Kundera seorang novelis asal Ceko berkata: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.” Ini menunjukkan bahwa buku sebagai unsur literasi memegang peranan penting dalam memajukan suatu bangsa. Melalui buku, masyarakat terlebih para sarjana akan mampu menerobos batas-batas kehidupan dunia. Selain itu, bahwa sebagai bagian dari masyarakat akademis, para sarjana juga mempunyai kewajiban membaca.
(tengkuhamdani@yahoo.com)