Islamisasi Ilmu: Butuhkah Ilmu Pelabelan Agama?
KABARDAILY.COM | OPINI – Islam sangat menghargai yang namanya ilmu. Di dalam Al-Qur’an sendiri kata ilmu atau yang berkaitan dengannya disebutkan beratus-ratus kali. Wahyu pertama yang Allah turunkan saja adalah‘iqra’ (bacalah), dan segala sesuatu yang dilakukan di muka bumi ini semuanya semata-mata karena Allah SWT. Allah sendiri menyebutkan dalam firmannya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.”
Berlandaskan ayat ini, kita bisa mengetahui bahwa sejak awal ilmu dalam Islam itu bersifat “Tauhidiy” (tidak sekuler), tidak mendikotomikan (memisahkan) antara ilmu pengetahuan dan sudut pandang ketuhanan. Meskipun kita telah mengenal istilah yang namanya “ini ilmu agama, itu ilmu dunia (umum)”. Namun sebenarnya ketika kedua ilmu ini disebutkan di dalam Al-Qur’an, baik ilmu agama ataupun ilmu umum (dunia) tujuannya tetap satu yaitu supaya lebih dekat dan lebih mengenal Allah SWT.
Realitas dunia Islam saat ini, ilmu pengetahuan modern atau sains modern itu diproduksi dari dunia Barat. Dalam hal ini penulis tertarik sekali dengan pemikiran Prof. Syed. Muhammad Naquib al-Attas, mengenai islamisasi ilmu. Beliau lahir 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Sekarang usia beliau genap mencapai 92 tahun. Menurut beliau, ilmu yang hari ini berada dan dikonsumsi secara akademik di dunia muslim itu sudah tidak netral atau sudah dipengaruhi oleh worldview Barat (yang tidak sesuai dengan culture dunia muslim).
Orang-orang Barat, untuk mencapai dan menjawab segala kebingungan ataupun keraguan, mereka menggunakan segala cara, sedangkan kita orang Islam itu terbatas, maksudnya ketika kita mempelajari sesuatu dan ternyata bertentangan bahkan menyeleweng dalam artian tidak sesuai lagi dengan apa yang diterangkan oleh Al-Qur’an, disinilah kita harus berhati-hati.
Sumber yang mereka gunakan hanya terbatas pada akal dan panca indera, sedangkan kita tidak terbatas pada dua hal tersebut saja, melainkan kita meyakini bahwa adanya wahyu dari Allah SWT yaitu Al-Qur’an. Seharusnya kita bisa lebih kreatif, inovatif, dan menghasilkan sesuatu atau peradaban yang luar biasa dari pada mereka, karena sumber yang kita punya juga sangat luar biasa. Tetapi, karena kesadaran muslim saat ini sangat rendah, kita tertinggal jauh bahkan malah terpengaruh oleh pemikiran yang mereka kemukakan, dimana justru bisa memecahkan bahkan menghancurkan kita secara perlahan termasuk kemerosotan moral.
Upaya islamisasi ilmu oleh al-Attas, tidak lain untuk membebaskan dunia muslim dari kendali sekuler, membersihkan unsur-unsur menyimpang dari pemikiran dan peradaban Barat. Pun usaha ini dilakukan untuk mengembangkan kembali kepribadian muslim yang sebenarnya, dimana dengan islamisasi tersebut akan terlahirlah kedamaian, ketenangan, keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman. Barulah kita benar-benar bisa merasakan dan sadar bahwa Islam itu rahmatan lil ‘alamin.
Al-Attas juga salah satu tokoh yang tidak sepakat dengan adanya metode hermeneutika dalam penafsiran Al-Qura’an. Sebab jika dikaji lebih dalam lagi, konsep hermeneutika ini lahir dari pengaruh pemikiran Barat. Amina Wadud misalnya, adalah salah satu muslimah liberal Amerika yang menerapkan konsep hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an terkhusus yang berkaitan dengan perempuan.
Baginya, bukan laki-laki saja yang bisa mengimami shalat karena tidak ada pelarangan secara mutlak dalam Al-Qur’an terkait wanita menjadi imam untuk laki-laki. Nah, inilah yang menjadi kekhawatiran Prof. Syed. Muhammad Naquib Al-Attas, beliau berusaha melahirkan gagasan dan pemikaran agar kedepannya tidak ada lagi Amina Wadud-Amina Wadud selanjutnya.
Secara garis besar yang diinginkan al-Attas adalah bagaimana caranya supaya nilai Islam lah yang kembali menjadi pandangan dunia (worldview), dan mengusung bagaimana agar Islam terbebas dari jeratan peradaban Barat (dewesternisasi).
Peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan berarti peningkatan kualitas kemanusiaan secara moral dan spiritual. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dilakukan oleh pihak zionis Israel yang cukup mengerikan pada rakyat Palestina dan ini sangat menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan. Disinilah, begitu pentingnya kaitan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai keislaman yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Ilmu pengetahuan dan teknologi jika ditangan yang benar, akan menciptakan kemakmuran bagi manusia. Sebaliknya, bila ditangan orang yang salah akan menciptakan bencana dan musibah.
Menutut al-Attas, kunci awal islamisasi ilmu adalah dengan islamisasi bahasa yang merupakan langkah awal dari rangkaian islamisasi ilmu yang dicanangkannya. Islamisasi bahasa sendiri bukan berarti selalu diiringi dengan perubahan atau penerjemahan bahasa non-Arab ke bahasa Arab, tetapi yang dimaksud adalah perubahan pemahaman dan pemaknaan bahasa tersebut. Karena dari tulisanlah cara halus mereka menghancurkan kita. Dengan adanya islamisasi bahasa maka akan menghasilkan islamisasi pemikiran dan penalaran, karena dalam bahasa terdapat istilah dan dalam setiap istilah mengandung konsep yang harus dipahami oleh akal dan pikiran.
Menurut penulis, ilmu itu tidak butuh pelabelan agama akan tetapi kita sebagai penuntut ilmu inilah yang harus berlandaskan atau tetap berpegang teguh pada agama Islam yang telah kita yakini kebenarannya. Ilmu dan agama adalah suatu keterkaitan yang harmonis. Sehingga ketika dihadapkan dengan hal baru (yang tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan) atau hal yang menyimpang, kita sudah memiliki pegangan. Kita tetap bisa berenang menyusurui lautan ilmu pengetahuan tanpa takut ditenggelamkan oleh pemahaman-pemahaman yang menyimpang.
Dari sini dapat diartikan bahwa orang yang berilmu tetapi tidak punya pedoman agama maka ia akan berjalan tanpa arah. Ibarat orang yang menyebrangi lautan samudera yang luas dengan kapal besarnya tapi tak bisa atau tak punya nahkoda untuk mengendalikannya, maka ia tidak pernah sampai pada tujuan yang diinginkan yang ada hanyalah terus terombang-ambing di tengah lautan sampai kapal itu rusak oleh terjangan ombak. Sebaliknya, agama tanpa ilmu pengetahuan pun tidak akan membawa pada kemajuan dan kebangkitan peradaban Islam.
Penulis: Diffa Cahyani Siraj
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)